NEWS
Peningkatan Gizi Kini, Peningkatan Ekonomi di Masa Depan
- Feb 15, 2022
Suatu sore di pesisir pantai di daerah Labuan Bajo, nampak segerombolan anak tengah berlarian mengejar layang-layang yang putus. Sebuah momen yang nampak indah untuk diabadikan dalam sebuah montase jepret kilas berbingkai cahaya merah di ufuk barat. Tak jauh dari tempat itu, seorang anak lelaki bertubuh mungil tengah termenung di teras rumahnya. Sambil setengah melamun, anak bernama Raka itu memandangi keceriaan teman-teman sebayanya dengan penuh damba. Bulan depan Raka akan merayakan ulang tahunnya yang ketiga. Meski begitu, ia merasa dirinya berbeda dengan teman-teman seusianya. Tubuhnya kecil dan daya tahan tubuhnya lemah. Sebentar-sebentar ia terserang demam atau diare. Tinggi badannya relatif lebih kecil untuk anak seusianya. Berat badannya pun tak ideal karena terlalu kurus.
Kisah mengenai si kecil Raka ini memang hanya ilustrasi dari penulis. Tapi boleh jadi, di luar sana banyak anak yang bernasib sama seperti Raka akibat masalah stunting. Stunting merupakan masalah gizi kronis pada balita yang ditandai dengan tinggi badan yang relatif lebih pendek dari anak seusianya. Gejala yang diakibatkan oleh stunting antara lain tinggi badan anak yang relatif lebih pendek dibandingkan anak seusianya dan berat badan anak yang relatif lebih ringan dibandingkan anak seusianya. Kondisi stunting terjadi di dalam kandungan dan efeknya baru terlihat saat anak berusia (kurang lebih) dua tahun. Selain masalah gizi kronis, stunting juga dapat terjadi ketika tingkat polusi di udara dan air terlalu tinggi, maupun faktor-faktor non kesehatan, seperti masalah ekonomi, sosial, politik, budaya, kemiskinan, kurangnya pemberdayaan perempuan, dan masalah kerusakan lingkungan.
Stunting merupakan salah satu masalah gizi yang saat ini paling banyak dialami oleh balita di dunia. Di tahun 2017 setidaknya 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami stunting. Meski begitu, angka ini telah banyak mengalami penurunan jika dibandingkan dengan angka stunting di tahun 2000, yaitu 32,6%. Berdasarkan data World Health Organization (WHO), Indonesia merupakan negara ketiga dengan tingkat prevalensi tertinggi di Asia Tenggara. Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia di tahun 2005-2017 yaitu mencapai 36,4%.
Masalah stunting ini tidak hanya mempengaruhi kesehatan, melainkan juga berpengaruh pada tingkat kecerdasan anak. Penelitian Grantham Mc Gregor dan Baker Henningham (2005) menunjukkan bahwa di banyak negara, stunting dikaitkan dengan rendahnya kemampuan kognitif anak dan prestasi mereka di sekolah. Stunting dapat mempengaruhi kapasitas belajar anak, nilai dan prestasi sekolah, upah orang dewasa, risiko penyakit kronis seperti diabetes, morbiditas, dan mortalitas, bahkan produktivitas ekonomi. Berdasarkan data Indonesia Family Live Survey (IFLS), diketahui bahwa dari 13 provinsi di Indonesia, hampir separuhnya (48,6%) anak usia 7-8 tahun memiliki kemampuan kognitif yang relatif rendah.
Tak hanya bagi individu, dampak stunting juga berpengaruh pada variabel-variabel makroekonomi. Berdasarkan penelitian Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), stunting akan berdampak pada pertumbuhan negara dalam jangka panjang. Rendahnya kualitas sumber daya manusia akan berakibat pada rendanya produktivitas di suatu negara. Tingkat produktivitas yang rendah ini dapat mengakibatkan terjadinya stagnasi pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya dapat meningkatkan kemiskinan dan memperlebar tingkat ketimpangan ekonomi. Berdasarkan penelitian World Bank (2016), stunting berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi dan produktivitas yang mengakibatkan hilangnya 11 persen Produk Domestik Bruto (PDB). Hal lainnya, stunting dapat menyebabkan penurunan pendapatan pekerja dewasa hingga 20 persen.
Melihat betapa krusialnya dampak yang dapat ditimbulkan oleh stunting, maka suatu hal yang wajar apabila penanggulangan masalah stunting ini menjadi isu nasional di Indonesia. Pemerintah terus berupaya menekan angka stunting. Setiap anak berhak mendapatkan asupan gizi yang cukup untuk membantu tumbuh kembangnya. Dalam jangka panjang, upaya pemenuhan asupan gizi ini mampu memperbaiki kualitas generasi di masa depan. Dengan kata lain, mencegah stunting boleh jadi merupakan upaya tidak langsung dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di masa yang akan datang melalui perbaikan kualitas sumber daya manusia. [Febyolla Putri Aninditya]